Sabtu, 17 Juli 2010
Mentari dan Bintang
Namaku Mentari, lengkapnya Mentari Lindita . Aku adalah anak yatim piatu dan aku tinggal di panti asuhan yang bernama Panti Asuhan Cinta Kasih. Hari - hari di panti asuhan biasa aku habiskan dengan membaca ataupun membantu Ibu Ani, pengurus panti asuhan ini.
Hari ini panti asuhan ku kedatangan seorang anak laki laki yang sepertinya sebaya denganku. Aku berkenalan dengannya. Namanya Bintang. Muhammad Bintang Mandala lengkapnya. Dari namanya aku mengira kalau dia adalah pemeluk agama islam, dan ternyata memang benar dia adalah seorang muslim. Aku sendiri adalah seorang Kristen.
Makin hari aku makin dekat dengan Bintang. Kami sering ngobrol bareng. Hari -hari di panti asuhan makin menyenangkan bagiku karena aku mempunyai teman sebaya yang asyik diajak ngobrol. Belakangan aku tahu bahwa orang tuanya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Bintang terlihat sedih saat mengingat hal yang menyebabkan kepergian kedua orang tuanya. Tatapannya menerawang. Aku hanya bisa menepuk punggung Bintang untuk menunjukkan rasa simpatiku, mencoba mengatakan kalau nasib anak anak yang ada disini sama kurang beruntungnya dengan dirinya. Kami semua sama sama tidak memiliki orang tua kandung.
Hari-hari terus berlalu dan hari ini adalah hari ulang tahun ku. Orang yang mengucapkan selamat pertama kali padaku adalah Bintang. Ia membawa sepotong kue berbentuk persegi berukuran kecil sambil menyanyikan Happy Birthday. Tentu saja semua itu dilakukannya dengan pelan pelan karena jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Aku terharu dan langsung memeluk Bintang. Pagi harinya, Ibu Ani dan teman-teman yang lain mengucapkan selamat padaku.
Tiba-tiba Bu Ani memanggilku untuk berbicara empat mata. Ternyata Bu Ani berbicara soal kalungku yang kupakai sejak dulu. Bu Ani bercerita bahwa kalung itu ada sejak aku ditinggalkan disini oleh orangtuaku. Orang tuaku yang memberikannya padaku . Aku ingin menangis mendengarnya tapi kutahan. Lalu aku pamit untuk keluar pada Bu Ani.
Aku tak habis pikir kenapa orang tuaku tega membuangku. Sebegitu tak diinginkannya kah aku? Dulu aku pikir, aku ada disini karena orang tuaku telah meninggal karena kecelakaan, namun saat mengetahui kenyataannya, rasanya aku ingin sekali berteriak untuk melampiaskan kekesalanku.
Sesampainya di luar aku duduk di kursi taman dan menangis tersedu-sedu .Tiba-tiba seseorang sudah ada di sampingku dan menepuk pundakku. Aku menengok. Ternyata itu Bintang.
"Mentari , aku sudah mendengar semuanya dari Bu Ani. Kamu harus semangat, Mentari. Kamu harus seperti namamu. Kamu harus seperti matahari yang menyinari dunia di sekitarmu."
"Makasih ya, Bintang."
"Iya,sama sama Mentari," katanya lembut. Digenggamnya tanganku dan ia mulai menautkan jemarinya dengan jemariku. Setelah itu kami hanya duduk bersisian dalam sunyi. Namun keheningan kali ini berbeda. Aku merasakan suatu kedamaian yang sudah lama tak aku rasakan.
"Mentari, aku sayang kamu," kata Bintang pelan, namun aku dapat mendengarnya. Aku menatapnya dalam. Dapat kutemukan ketulusan terpancar dari kedua bola matanya.
"Aku juga," kataku akhirnya sambil tersenyum dan menyenderkan kepalaku pada pundaknya. Malam itu langit dipenuhi oleh ribuan bintang terang yang menjadi saksi atas peristiwa itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar