Minggu, 13 Maret 2011

Jantung untuk Barry


        Aku Reza. Aku terlahir di keluarga yang cukup berada dan dilimpahi oleh kasih sayang kedua orang tuaku yang lebih dari cukup. Mereka selalu menyediakan waktu untukku. Aku merasa aku adalah anak yang paling beruntung di dunia. Tapi itu sebelum adikku lahir
        Adikku memang sudah kuanggap pembawa masalah sejak lahir. Ia menyebabkan mama meninggal saat melahirkannya. Dan sesudah lahir ia juga menyusahkan. Ia lahir dengan mempunyai penyakit di jantung. Lemah jantung. Begitu kata dokter pada papa.
        Semenjak itu, perhatian papa kepadaku mulai berkurang, atau hilang sama sekali tepatnya. Perhatiannya tercurahkan sepenuhnya pada Barry. Aku bukan cemburu pada adikku seperti kebanyakan kakak, tapi itulah kenyataannya. Bila aku bertanya PR yang tidak aku mengerti, papa malah mengibaskan tangannya menyuruhku pergi dan berusaha sendiri. Ia malah memanggil Barry dan bertanya apakah ada PR yang tidak ia mengerti.
        Semenjak itu, aku berusaha merebut kembali perhatian papa walau sedikit saja dengan menonjolkan diriku di berbagai mata pelajaran. Ya, nilaiku hampir semuanya A, paling kecil B-. Tapi papa tetap saja cuek bila aku menunjukkan hasil ujianku . Ia hanya berkata "Oh"atau "Ya".
        Papa tidak memperhatikan tubuhku yang semakin kurus dan kesehatanku yang semakin merosot karena terlalu banyak belajar dan kurang tidur. Ia justru sering bertanya pada Barry: " Apa kamu sudah makan Barry?" "Apa kamu merasa sehat ,nak?" Aku sangat muak dangan hal itu

*5 tahun kemudian*

         Aku masih sama seperti dulu. Remaja kuper yang selalu menyabet berbagai penghargaan di bidang akademis. Akhirnya setelah melihat kemampuanku yang bagi mereka terlihat luar biasa , sekolahku memberikan beasiswa ke China untukku dan mengundang orang tuaku untuk membicarakan hal itu. Seperti dugaanku, ayah tidak datang. Akhirnya aku gagal mendapatkan beasiswa itu
         Benih- benih kebencian yang kutanam sejak lama itu pun mengakar semakin kuat dan tumbuh dengan subur di hatiku. Akhirnya aku memutuskan, jika aku tidak dapat mendapat kembali perhatian papa, maka Barry juga tidak bisa. Ia harus mati!
         Kesempatan yang menggiurkan itu pun datang. Saat pulang sekolah, aku melihat Barry sedang kesakitan di ranjangnya. Mungkin pembantuku lupa memberinya obat. 
         Akhirnya, kataku dalam hati. Erangan Barry semakin lama semakin keras. Aku melihat jam tanganku. Sudah 15 menit. Ternyata ia mati lama juga. Tiba-tiba pembantuku menghambur masuk ke kamar Barry . Mungkin ia mendengar suara rintihan Barry. "Astaga Tuan. Tahan sebentar tuan. Saya akan segera menelepon ayah tuan," ucapnya panik sambil berlari ke telepon yang terletak di ruang tamu.
        Gagal lagi, pikirku dengan geram sementara itu pembantuku segera menelepon papa.
       Seperti yang kuduga, sesampainya di rumah papa segera membawa Barry ke rumah sakit. Karena penasaran, aku pun membuntuti papa dengan mobilku. Saat aku sampai, papa sedang berbicara dengan dokter.
        "Maaf pak, keadaan jantungnya sudah sangat buruk. Harus ada yang mendonorkan jantung untuknya." kata dokter. Papa dengan emosi mengguncang bahu dokter itu.
        " Apa??? Tidak mungkin !! Istriku sudah mengorbankan dirinya saat melahirkan Barry. Apa sekarang aku harus kehilangan orang yang kucintai lagi? Coba cari cara lain dok !"
       "Ini tidak ada hubungannya dengan kematian istri bapak! Jantunganya sudah lemah sejak lahir! Terimalah kenyataan ini pak!" kata dokter tersebut. Nada suaranya meninggi. Ia mulai ikut emosi.
       Papa mengendurkan cengkramannya. Bahunya berguncang. Dapat kulihat keputus asaan melalui kedua bola matanya. Ia berusaha menahan tangisannya. Entah apa yang merasukiku, tiba-tiba aku merasa kewajibanku sebagai seorang kakak adalah melindungi adiknya. Aku maju menuju dokter itu.
        "Dok, aku ingin memberikan jantungku untuk adikku." kataku dengan suara tegas. Dokter tersebut membelalak tak percaya.
        "Jangan lakukan hal itu nak. Itu membahayakan nyawamu." kata dokter itu. Aku tak peduli. Tekadku sudah bulat.
        Tiba-tiba papa melihat ke arahku dan memelukku. "Maafkan papa jika selama ini papa kurang memperhatikanmu nak. Papa bukan ayah yang baik untukmu. Papa sayang padamu Za." kata papa di tengah tangisannya.
        Aku merasa rantai yang membelenggu tubuhku tiba- tiba terlepas dengan sendirinya. Akhirnya aku mengetahui kalau papa sangat menyayangiku. Hal itu sudah cukup bagiku. Aku seperti makin mendapat dukungan untuk memberikan jantungku untuk adikku.
        Sesampainya di rumah aku segera mengambil pisau dan memotong urat nadiku pada tangan sebelah kiri sementara tangan kananku memegang selembar kertas bertuliskan: "Donorkan jantungku untuk Barry". Sebelum itu aku meminum obat tidur yang aku tahu diam-diam sering diminum oleh papa.
        Hal yang terakhir kuingat adalah aku merasakan nyeri pada tanganku dan aku mendengar teriakan papa. Setelah itu aku jatuh tertidur dalam tidur yang abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar